Untuk kesekian kalinya, Fakultas Humaniora dan Budaya (Hudaya) mengadakan bedah buku. Tak tanggung-tanggung, kali ini fakultas tiga jurusan tersebut mengundang salah satu dosen yang termashur dengan beberapa bukunya dan sudah berkelana ke beberapa negara sebagai inspirasi penulisan bukunya, salah satunya Surat dari Praha kemarin (4/5). Dan langsung dibedah oleh sang penulis Yusri Fajar, dengan pembanding Mundi Rahayu, M. Hum.
Dalam bedah buku yang juga dihadiri oleh beberapa mahasiswa dari luar UIN, tepatnya Brawijaya, Yusri Fajar menjelaskan tentang proses pembuatan bukunya tersebut. Salah satu yang menginspirasi dosen kelahiran 1977 ini adalah orang Indonesia yang suda menetap di Eropa dan bisa hidup di salah satu negara, tepatnya di Praha, Republik Ceko. Menurutnya, lelaki yang bernama lengkap Maman Abdurahman tersebut mampu hidup di kalangan orang barat dengan menjual sate sebagai salah satu makanan kuliner di negara tersebut. “Fakta tersebutlah yang memunculkan imajinasi untuk menarasikannya dalam sebuah cerpen,” jelas dosen yang mengajar di Universitas Brawijaya ini.
Selain kejadian di atas, dalam acara yang bertempat di Home Theatre ini, dosen fakultas Ilmu Budaya ini menjelaskan alasan lain mengenai buku yang sering disebutnya sebagai oleh-oleh dari Swiss ini. Dalam pandangannya, salah satu cerpen dari dua belas cerpen yang terdapat di buku tersebut berbicara tentang tindakan kolonialisme dari orang-orang barat terhadap orang timur, salah satunya adalah kepada orang timur yang menjadi penjual koran. ”Sempat terjadi tindakan rasisme terhadap orang Asia dan Afrika, dan mereka dipandang sebelah mata,” tambah dosen yang juga ahli sastra dalam tingkat nasional ini.
Tak hanya itu, beberapa kasus koruptor yang kabur ke luar negeri juga menginspirasinya untuk penulisan cerpennya. Khsusnya ketika beberapa koruptor yang menanamkan kekayaannya di beberapa negara di Eropa, salah satunya adalah di Swiss. ”Yang tak kalah menarik adalah demo dari mahasiswa Indonesia di Swiss,” terang dosen kelahiran Banyuwangi ini.
Mundi Rahayu: Perlunya Dekonstruksi dari Kaum Marginal
Sebagai pembanding, buku yang diterbitkan oleh AM Publishing ini, dikritisi oleh Mundi Rahayu, M.Hum. Dosen jurusan Bahasa dan Sastra Inggris ini menjelaskan tentang bagaimana pendekatan tokoh-tokoh dalam setiap cerpen tersebut terhadap kolonialisme. “Mungkin akan lebih bagus jika di setiap cerpen ada pemberontakan dari kaum marginal terhadap para penguasa,” jelas dosen mata kuliah Cultural Studies ini.
Perkataan dosen yang akrab dipanggil Bu Mundi bukan tanpa alasan, hal ini dikarenakan dengan adanya tindakan dekonstruksi dari kaum marginal kepada para penguasa atupun wilayah central, jalan cerita cerpen tersebut akan lebih menarik untuk dibaca. “Tindakan para mahasiswa Indonesia yang mendemo pejabat yang pergi ke luar negeri merupakan contoh yang bagus,” tambahnya.
Selain dari masalah tokoh, dalam acara yang dimulai pukul 14.00 WIB ini, dosen yang ahli dalam bidang sastra ini, juga membahas tentang setting, pengenalan serta klimaks dari setiap cerpen. Dari sudut pandang dialog, penggambaranpun juga tidak luput untuk dikritiki oleh dosen yang juga mengajar mata kuliah Creative Writing ini. “Content dan tema yang diangkat semuanya sudah bagus dan cukup berbobot, papar dosen yang juga menjadi sekretaris di unit penerbitan fakultas Hudaya ini. (rif)