Apa Itu Kuasi Kualitatif?

Apa Itu Kuasi Kualitatif?[1]

Prof. Dr. Mudjia Rahardjo, M.Si., CIQnR.[2]

 

Dalam metode penelitian dikenal sebuah desain penelitian yang disebut “kuasi kualitatif.” Tidak jarang konsep ini membingungkan, terutama bagi peneliti pemula. Ada yang menganggap “kuasi kualitatif” sama dengan kualitatif atau disebut deskriptif kualitatif, sebuah konsep yang dianggap salah kaprah. Para pakar penelitian kualitatif seperti Creswell, Taylor, Bogdan dan sebagainya tidak mengenal istilah deskriptif kualitatif. Kita tidak tahu bagaimana awal mula konsep tersebut begitu masif digunakan dalam penulisan karya ilmiah kualitatif di Indonesia di semua tingkatan pendidikan. Mungkin karena di dalam metode kuantitatif ada konsep deskriptif kuantitatif, maka dalam penelitian kualitatif muncul deskriptif kualitatif. Karena sumbernya tidak jelas dan para pakar tidak mengenalnya, menurut Burhan Bungin (2022), lebih baik kita tinggalkan konsep “deskriptif kualitatif” dan menggantinya menjadi “kuasi kualitatif.”  

Diakui bahwa hingga saat ini di kalangan akademisi masih terjadi kerancuan memahami konsep kuasi kualitatif. Apa itu kuasi kualitatif? Menurut KBBI (2001), kuasi artinya ‘hampir seperti’ atau ‘seolah-olah.’ Secara semantik kuasi kualitatif ialah seperti kualitatif atau seolah-olah kualitatif. Padahal, sesungguhnya bukan kualitatif. Karena itu,  desain kuasi kualitatif dapat diartikan sebagai desain atau metode penelitian yang seolah-olah kualitatif atau mirip kualitatif.

Sebagaimana diketahui setiap metode penelitian berangkat dari suatu asumsi dasar filosofis atau paradigma tertentu yang menjadi panduan bekerja dalam menangkap dan memahami realitas. Desain kuasi kualitatif berangkat dari paradigma postpositivisme. Paradigma ini  juga sering disebut paradigma tengah antara positivisme dan interpretif. Postpositivisme berasumsi bahwa seorang peneliti tidak mungkin memeroleh kebenaran absolut sebagaimana pandangan paradigma positivisme. Alasannya ialah dalam proses penelitian, terutama saat mengumpulkan dan menganalisis data, selalu saja ada kelemahan atau kekurangan. Misalnya, data tidak valid atau kredibel, data kurang lengkap, analisis tidak tepat, dan sebagainya.

Menurut Creswell (2007), postpositivisme adalah sebuah paradigma yang menggugat atau mengkritik doktrin positivisme tentang realitas. Postpositivisme tidak mengakui realitas tunggal. Menurutnya, realitas itu jamak dan bersifat heterogen sehingga tidak mudah dibuat generalisasi. Tetapi dalam beberapa hal, postpositivisme sejalan dengan positivisme. Misalnya, ia menggunakan pendekatan saintifik yang bercorak reduksionis, logis, dan penekanan pada data empirik, hubungan kausalitas antar-variabel, deterministik dan bersandar pada teori. Karena itu, metode penelitian kuantitatif bertujuan membuktikan teori.  

Aliran ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Karl R. Popper, Thomas Kuhn, dan beberapa filsuf mazhab kritis dari Frankfurt, semacam Richard Rotry. Dengan pandangan semacam itu, tidak salah jika dikatakan kuasi kualitatif sesungguhnya adalah kualitatifnya metode kuantitatif. Atau dengan kata lain, kuasi kualitatif ialah metode kuantitatif yang dikualitatifkan, sehingga belum sepenuhnya kualitatif. Karena itu,  disebut ‘kuasi.” Burhan Bungin (2022) menyebutnya “belum kualitatif.”

Postpositivisme adalah sebuah paradigma penelitian. Tetapi memang diakui konsep ini masih membingungkan. Ada yang menganggap postpositivisme sekadar aliran yang lahir setelah positivisme dan tidak memiliki implikasi metodologis. Sebab, sebagaimana dinyatakan Lincoln dan Guba (1985) sebelum positivisme juga ada aliran yang disebut ‘prepositivisme.’ Sebagian lain menganggap postpositivisme sama dengan paradigma interpretivisme atau fenomenologi. Akibat dari kesalahpahaman ini cukup fatal, karena kuasi kualitatif dianggap sama dengan kualitatif murni (pure qualitative). Padahal, menurut Burhan Bungin (2022) satu-satu metode kualitatif murni dalam penelitian sosial ialah metode Grounded Research di mana penelitian tidak berangkat dari teori, melainkan peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data. Ada doktrin kuat dalam Grounded Theory bahwa “all is data.” Peneliti Grounded mengesampingkan teori. Justru teori dibangun berdasarkan data. Kalaupun ada, teori itu dimaksudkan untuk konfirmasi temuan, bukan untuk sandaran untuk memahami realitas, apalagi untuk menganalisis data.

Melalui penelitian Grounded, seorang peneliti kualitatif akan menemukan teori baru (discovering a new theory), bukan sekadar mengkonstruksi teori (constructing a theory). Sebagai contoh penelitian yang dilakukan antropolog Clifford Geertz tentang The Religion of Java (1960) yang menghasilkan temuan bahwa masyarakat Jawa terbagi atas tiga kelompok, yaitu santri, abangan, dan priyayi adalah penelitian kualitatif yang benar-benar kualitatif, bukan kuasi. Mengawali penelitiannya, Clifford Geertz tidak menggunakan teori. Tetapi justru di akhir penelitian dia menemukan teori yang dianggap berkontribusi besar dalam studi antropologi modern. Kendati memeroleh banyak pertentangan, nyatanya hingga kini teori tersebut masih digunakan para akademisi bidang antropologi. Bagi yang masih bingung dengan metode Grounded, studi Clifford Geertz bisa menjadi contoh.                 

Adalah benar bahwa paradigma postpositivisme bekerja dalam nalar positivistik, tetapi tidak sepenuhnya. Postpositivisme bermaksud memperbaiki konsep positivisme dalam memandang realitas. Di satu sisi postpositivisme sependapat dengan positivisme bahwa realitas adalah nyata dan berjalan sesuai hukum alam. Tetapi di sisi lain, seorang peneliti tidak mungkin memeroleh kebenaran secara mutlak. Sebab, bisa saja dalam pengamatan terhadap objek seorang peneliti tidak cermat sehingga data kurang valid. Selain itu, postpositivisme menolak penggunaan satu teknik dalam pengumpulan data, melainkan bermacam-macam metode melalui triangulasi yang meliputi metode, sumber data, peneliti dan teori. Dalam pandangan postpositivisme, peneliti dan subjek harus berada dalam hubungan interaktif, tidak saling menjauh. Makna diperoleh dari hasil interaksi dengan fakta, bukan dengan teori.

Hal lain yang sejalan dengan positivisme ialah postpositivisme percaya bahwa kebenaran objektif harus melalui verifikasi atau dibuktikan secara indrawi. Jika ditarik ke dalam filsafat, postpositivisme masih dinaungi oleh aliran  empirisisme yang menganggap pengalaman melalui indra adalah sumber utama pengetahuan, bukan akal atau nalar sebagaimana aliran rasionalisme. Dengan demikian dapat dikatakan sesuatu dapat disimpulkan secara objektif benar jika telah dapat diverifikasi dengan berbagai cara dan kalangan, terutama komunitas ilmuwan. Sepanjang belum diverifikasi, temuan penelitian belum dianggap benar.

Secara lebih rinci, mengutip Heron, Lincoln dan Guba (1985) mengajukan enam persoalan terkait paradigma postpositivisme, yaitu: 1). menyangkut perilaku (peneliti tidak bisa menentukan satu model perilaku baginya, dan satu model yang lain untuk responden penelitian, 2). persoalan intensionalitas (makud atau intensi subjek penelitian harus sama dengan interpretasi peneliti, 3), persoalan menyangkut bahasa (ketika seseorang berkomunikasi, dia harus sepakat dengan aturan-aturan dalam bahasa tersebut kalau komunikasi ingin efektif), 4) persoalan menyangkut epistemologi (jika ilmu dianggap sebagai sebuah produk, maka proses penelitian ilmiah tidak saja melibatkan pengetahuan proposisional, tetapi juga pengetahuan praktis, seperti ketrampilan, profisiensi, serta pengalaman melakukan penelitian), 5). persoalan aksiologi (kebenaran suatu proposisi sangat tergantung pada nilai yang telah disepakati bersama oleh masyarakat), dan 6) persoalan menyangkut moral dan politik (penelitian melibatkan orang, dan karena pengetahuan itu adalah suatu kuasa bisa saja orang tereskploitasi karena karena menjadi subjek atau partisipan penelitian).       

Secara praktis, post-positivistik dengan metode penelitian kuasi kualitatifnya menggunakan teori sejak awal penelitian. Teori digunakan untuk memahami realitas. Dengan menggunakan teori, seorang peneliti di benaknya telah dipandu oleh suatu pandangan konseptual terhadap realitas yang diteliti. Dia bukan makhluk bebas yang dapat memahami realitas sebagaimana adanya. Dengan berbekal teori, seorang postpositivis terikat pandangannya dalam memaknai realitas. Di akhir penelitian, peneliti membaut kesimpulan antara lain temuan penelitiannya sesuai dengan teori X atau Y. Ada yang membuat kesimpulan bahwa temuannya merevisi  atau mengembangkan teori yang telah ada dan digunakan dalam penelitiannya.  Bisa saja melalui penelitian serius, peneliti kuasi kualitatif menolak teori yang telah ada. Karena itu, dalam postpositivisme peran teori sangat penting dan secara harus ada. 

Secara teknis format penelitian kuasi kualitatif ialah peneliti menempatkan teori pada bab Kajian Pustaka (biasanya di bab 2 dalam laporan penelitian) setelah kajian studi-studi terdahulu (previous study). Kajian terdahulu digunakan peneliti untuk mencari ruang kosong atau ‘state of the arts’ penelitian. Melalui kajian terdahulu, seorang peneliti dapat mengetahui siapa saja yang telah melakukan penelitian bidang sejenis, apa masalah yang diteliti, dengan metode apa, dan apa hasilnya. Jika itu penelitian lapangan (field research), calon peneliti juga harus tahu di mana penelitian dilakukan atau yang disebut lokus penelitian .      

Di forum ujian, sering terjadi penguji bertanya kepada mahasiswa apa teori yang digunakan dan bagaimana implikasinya di akhir penelitian. Pada sesi tanya jawab semacam itu bisa saja antara penguji dan mahasiswa yang diuji tidak menyadari atau tidak mengetahui bahwa mereka berada dalam paradigma postpositivisme dengan desain penelitian kuasi kualitatif. Metodologi penelitian memang rumit, karena melibatkan filsafat di dalamnya. Karena itu, kesalahpahaman, kebingungan, kerancuan dan sebagainya bisa terjadi pada siapa pun. Hal yang semakin rumit bisa saja terjadi ketika kedua belah pihak tidak memahami persoalan.  

Sampai kelahiran interpretivisme, paradigma penelitian belum begitu rumit karena hanya ada dua macam, yaitu positivisme dan postpositivisme. Tetapi setelah interpretivisme, paradigma penelitian berkembang begitu kompleks dengan berbagai ragam pemikiran, mulai konstruktivistik, pragmatik, postmodernisme, kritik dan post-truth. Karena itu, terus belajar dan meng-update ilmu tentang penelitian menjadi keniscayaan bagi siapa pun yang bergelut di bidang ilmu pengetahuan. Tidak mau belajar dalam waktu singkat saja sudah ketinggalan banyak hal.     

Saya berharap tulisan singkat ini dapat memberikan pencerahan kepada mereka yang belum tahu mengenai paradigma postpositivisme dan metode kuasi kualitatif, serta dapat mengakhiri kebingungan baik bagi para dosen pembimbing maupun mahasiswa yang sedang menyusun karya ilmiah!                             

______________

Malang, 9 Agustus 2023

Daftar Pustaka

Burhan Bungin.  2022. Post-Qualitative Social Research Methods. Kuantitatif-Kualitatif-Mixed Methods. Jakarta: Penerbit Kencana.

Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design. Choosing Among Five Approaches. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications.

KBBI. 2001. Jakarta: Balai Pustaka.

Lincoln, Y.S., & Guba, E.G. 1985. Naturalistic Inquiry. Baverly Hills, London, New Delhi: Sage Publications.  

 

[1] Naskah ditulis untuk mahasiswa yang akan atau sedang menulis karya ilmiah, baik skripsi, tesis, maupun disertasi.

[2] Penulis adalah Guru Besar pada Fakultas Humaniora, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Alumni pendidikan Certified International Qualitative Researcher (CICaR) , Batch 38, dan Certified International Quantitative Research (CiCnR), Batch 35, dan Pengampu Matakuliah Metodologi Penelitian Program  Doktor (S3) di beberapa universitas.

 

Jl. Gajayana 50 Malang 65144 - Jawa Timur - Indonesia

  • dummy+1 (0341) 551354

  • dummy+1 (0341) 551354

  • dummy humaniora@uin-malang.ac.id