Bagaimana Paradigma Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora?

Mudjia Rahardjo
(Tulisan ke-3)
 

Pengalaman mengajar matakuliah metodologi penelitian di Program Sarjana (S1), Magister (S2) dan Doktoral (S3) bertahun-tahun selama berprofesi menjadi dosen, saya memeroleh kesan umum matakuliah metodologi penelitian belum dipahami dengan baik oleh mahasiswa terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Umumnya mahasiswa mengambil matakuliah ini hanya untuk kepentingan praktis, yakni penyelesaian tugas akhir, baik berupa skripsi, tesis, maupun disertasi.  Malah ada yang beranggapan dengan metodologi persoalan menjadi sulit. Karena itu, saya berpikir andai tidak ada tugas akhir, mungkin matakuliah ini tidak diminati. Kalaupun ada, jumlahnya tidak banyak.    

Selain itu, umumnya mahasiswa mengenal metodologi penelitian hanya pembahasan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan kuesioner, tes, wawancara, observasi dan dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data. Setiap mengawali perkuliahan, terutama di Program Pascasarjana (S2) dan  (S3) saya selalu bertanya apa yang telah diketahui mengenai metodologi penelitian dan apa harapannya.  Jawaban mahasiswa sangat pragmatis. Mereka ingin cepat selesai kuliah.  Jawaban itu tidak sepenuhnya salah, tetapi kurang sempurna.   

Matakuliah metodologi penelitian tidak hanya untuk tujuan penyelesaian tugas akhir. Ia membantu seseorang untuk berpikir sistematis, logis, cermat dan membiasakan diri mengambil kesimpulan berdasarkan data. Ia sarat dengan nilai-nilai filsafat, mulai mencari masalah, merumuskan pertanyaan penelitian, hingga membuat kesimpulan. Bahkan, metodologi merupakan buah pemikiran filsafat yang sangat panjang. Karena itu, banyak sekali istilah filsafat dalam penelitian, seperti positivisme, interpretivisme, refleksivisme, pragmatisme, idealisme, realisme, holisme, dan sebagainya. Adalah metodologi penelitian yang membuat suatu pengetahuan (knowledge) menjadi pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). 

Tujuan akhir metode penelitian ialah menemukan kebenaran (truth). Berabad-abad lamanya para filsuf berpikir mengenai kebenaraan (truth) dan bagaimana memerolehnya. Munculnya aliran-aliran pemikiran dalam filsafat seperti rasionalisme, empirisisme dan lain-lain merupakan bukti bahwa upaya menemukan kebenaran merupakan perjuangan para filsuf berabad-abad lamanya. Kebenaran itu mahal sehingga harus diperoleh melalui perjuangan panjang dan sungguh-sungguh. Penelitian pun sebagai aktivitas ilmiah untuk memeroleh kebenaran harus dilakukan secara serius dan melalui perjuangan panjang.     

Kurangnya pemahaman mengenai metodologi penelitian adalah karena mahasiswa belum memiliki wawasan yang cukup mengenai ‘paradigma.’ Karena itu, yang salah bukan mahasiswa tetapi juga dosen yang mengajar. Metode apa pun dalam penelitian harus berangkat dari suatu paradigma. Paradigma itu apa? Istilah paradigma (paradigm) yang kita gunakan hingga saat ini sering dihubungkan dengan Thomas Kuhn dan penelitiannya tentang sejarah ilmu pengetahuan. Istilah tersebut muncul pertama tahun 1962 melalui karyanya ‘The Structure of Scientific Revolution.’ Menurut Kuhn, peneliti yang sudah memilih paradigma tertentu wajib mengikuti aturan dan standar yang sama dalam kegiatan keilmuannya. Jupp (2006:212) mengartikan paradigma sebagai seperangkat kepercayaan dan aturan yang digunakan ilmuwan dalam bidang ilmu tertentu, mengenai apa yang harus dipelajari, bagaimana penelitian dijalankan, dan bagaimana hasilnya harus diinterpretasikan, dan sebagainya.       

Ditambahkan Chambers (2008:13) bahwa paradigma sebagai pola yang saling mendukung mengenai konsep, nilai dan prinsip, metode, prosedur dan proses, peran dan perilaku, hubungan dengan pikiran, dan orientasi ke arah perkembangan tertentu.  

“a mutually reinforcing pattern of concept, values and principles, methods, procedures and process, roles and behaviours, relationships and mindsets, and orientations and predispositions.”                     

Paradigma merupakan asumsi yang melandasi kegiatan dan pemikiran ilmiah. Dari paradigma, ilmu pengetahuan diderivasi atau diturunkan. Mengutip Thomas Kuhn, Liliweri (2018:v) menyatakan paradigma digunakan untuk dua maksud: (1) mewakili cara berpikir tertentu yang dimiliki oleh komunitas ilmuwan untuk memecahkan masalah dalam bidang mereka, dan (2) mewakili ‘komitmen, kepercayaan, nilai, metode, pandangan, dan sebagainya yang saling berbagi dalam sebuah disiplin.’

Dari definisi di atas bisa ditarik kesimpulan secara ringkas bahwa paradigma adalah seperangkat  asumsi, kepercayaan dan nilai yang dianggap ‘benar’ untuk melakukan sesuatu berdasar pandangan tertentu. Karena itu, bisa dibayangkan bagaimana mungkin seorang peneliti dapat melakukan kegiatan penelitian dengan benar jika tanpa pemahaman yang benar mengenai paradigma. Penelitian tanpa paradigma ibarat bangunan tanpa fondasi. Tentu bangunan itu tidak kuat dan akhirnya roboh.

Selama ini dikenal ada dua pradigma penelitian utama (mainstream paradigms), yaitu positivisme dan interpretivisme (Basuki, 2006). Di luar itu, ada paradigma refleksivisme/transformativisme dan pragmatisme. Masing-masing melahirkan metode penelitian sendiri-sendiri, sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut:    

Paradigma

Positivisme

Interpretivisme/

Fenomenologis-me

Refleksivisme/

Transformativisme

Pragmatisme

Pendekatan  

Penelitian Kuantitatif

Penelitian Kualitatif

Penelitian Kritis

Penelitian terapan

Metode

Korelasi,

Eksperimen,

Inferensi,

Ex-post facto,

Survei,

Sensus,

Opinion polling.  

Etnografi,

Fenomenologi,

Etnometodo-logi,

Studi kasus,

Grounded Research,

Life history,

Hermeneutika.

Feminism studies,

Critical legal studies,

Critical race studies.

Metode Campuran (Mixed Methods),

Penelitian Tindakan,

Penelitian Evaluasi,

Penelitian kebijakan,

Penelitian pengembangan (R&D).

Secara filosofis, masing-masing memiliki pandangan berbeda dalam melihat realitas. Positivisme memandang bahwa fenomena sosial memiliki pola dan tunduk pada aturan dan berjalan dalam hubungan sebab-akibat. Paradigma positivisme lahir dari perpaduan antara aliran rasionalisme dan empirisisme. Dalam pandangan positivisme, kebenaran tidak hanya berdasar rasio atau nalar (deduksi), melainkan juga teruji berdasarkan pengamatan (induksi). Cara pandang ini menjadi landasan metode penelitian kuantitatif hingga hari ini.

Paradigma interpretivisme lahir dari sosiologi interpretif yang berpandangan bahwa realitas merupakan hasil konstruksi manusia. Individu dianggap sebagai makhluk bebas berkehendak dan bertindak serta membentuk dunia sendiri yang otonom. Tindakan individu meruapakan refleksi atau pantulan dari pikirannya.  Kebenaran bukan hanya melekat pada objek yang diteliti, melainkan juga subjek yang menelitinya. Lazimnya paradigma interpretif menjadi landasan metode penelitian kualitatif.

Paradigma refleksivisme atau transformativisme melahirkan penelitian kritis. Paradigma ini bercita-cita memberdayakan dan membebaskan manusia dari belenggu pemahaman atau kesadaran palsu. Suatu pengetahuan tanpa disadari bisa menyebabkan kepalsuan. Mengutip Raymond Geuus, Nugroho (2021) menyatakan kesadaran palsu adalah suatu bentuk konstelasi keyakinan, sikap, disposisi tertentu yang secara epistemis mendaku diri sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang benar, secara fungsional melanggengkan, menstabilkan atau melegitimasi dominasi, dan secara genetik berasal dari kepentingan penguasaan tertentu.   

Menurut Foucault, pengetahuan itu membawa kuasa (power/knowldge). Bagi Habermas, tidak ada manfaatnya ilmu yang hanya dapat menjelaskan sebab-akibat suatu peristiwa sosial, sebagaimana dilakukan oleh mazhab positivisme atau hanya memahami suatu peristiwa, sebagaimana dilakukan mazhab interpretivisme, tanpa bisa melakukan pemberdayaan kelompok masyarakat yang terbelenggu atau terpinggirkan. Misalnya, apalah artinya suatu ilmu yang hanya menemukan sebab-akibat suatu kemiskinan di suatu daerah, atau memahami secara mendalam peristiwa kemiskinan, tanpa berusaha mengentaskan masyarakat dari keterbelakangan. Pada wilayah ini metode penelitian kritis beroperasi.        

Keempat ialah paradigma pragmatisme. Paradigma ini mengakui ada banyak cara berbeda dalam menafsirkan dunia dan melakukan penelitian, bahwa tidak ada satu pun pandangan yang bisa memberikan gambaran keseluruhan karena ada begitu banyak realitas. Selama ini dua paradigma positivistik dan interpretif begitu mendominasi pandangan filosofis para peneliti. Ada sekelompok ilmuwan yang ingin keluar dari dominasi dua paradigma tersebut dan memodifikasi pandangan filosofis mereka dari waktu ke waktu dan pindah ke posisi baru. Asumsi filosofis yang dimodifikasi diadaptasi oleh peneliti pragmatis (Liliweri, 2018: 802).           

            Paradigma pragmatisme melahirkan metode penelitian terapan (applied research), seperti Penelitian Evaluasi, Penelitian Tindakan, Penelitian Kebijakan, Penelitian Pengembangan, dan Metode Campuran (mixed methods), sebagaimana dikembangkan C. Teddlie dan A. Tashakkori (2003). Dengan asumsi filosofis yang berbeda, dalam penelitian sosial paradigma pragmatisme melahirkan metode penelitian yang tidak hanya menciptakan dan menemukan ilmu pengetahuan (to create and to discover scientific knowledge), tetapi juga untuk menciptakan perubahan yang terkontrol melalui pemberdayaan (empowerment). Dengan demikian, paradigma pragmatisme dapat menggabungkan paradigma positivisme dan interpretivisme dalam lingkup penelitian tunggal sesuai dengan pertanyaan penelitiannya. Basuki (2006) menyatakan bahwa pragmatisme beranggapan bahwa kebenaran itu bergantung kepada kebermanfaatan atau berfaedah tidaknya teori, atau pernyataan tersebut terhadap kehidupan manusia.

Berangkat dari ragam paradigma semacam itu, penelitian sosial bisa memilih paradigma apa yang digunakan. Pertanyaannya ialah paradigma apa yang terbaik? Sebagaimana diketahui,  dalam khasanah metodologi penelitian tidak dikenal teori dan metode terbaik, melainkan teori dan metode yang tepat dan tidak tepat. Paradigma pun demikian, tidak dikenal paradigma terbaik dan terburuk dalam penelitian. Yang ada adalah paradigma yang tepat dan tidak tepat untuk mendasari penelitian dengan tujuan tertentu. Misalnya, jika peneliti sosial ingin mengukur hubungan suatu variabel dan membuktikan teori, maka pilihannya paradigma positivistik, jika ingin memahami suatu peristiwa sampai ke akar-akarnya dan menggali realitas di balik fenomena sehingga menghasilkan teori, pilihannya adalah paradigma interpretisme, jika ingin memberdayakan masyarakat yang terbelenggu oleh suatu kuasa, paradigmanya ialah refleksivisme atau pragmatisme, dan jika ingin menghasilkan teori sekaligus produk yang dapat digunakan kepentingan praktis, pilihannya adalah paradigma pragmatisme. Sesuai karakteristik ilmu sosial, penelitian ilmu sosial dan humaniora dapat memilih salah satu di antara paradigma tersebut, tergantung pada tujuan yang hendak dicapai! (bersambung).     

_____________

Malang, 24 Desember 2022.

Daftar Pustaka

Basuki. 2006. “Metodologi Penelitian Mainstream dan Alternative: Usaha Mendekati Kebenaran,” dalam Management Insight, Journal of Business & Management. Volume 1- Number 2- July-December 2006.

Jupp, Victor. (ed). 2006. The Sage Dictionary of Social Research Methods. London: Sage Publications.

Liliweri, Alo. 2018. Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.   

Nugroho, Heru. 2001. “Dominasi Nalar Algoritma dalam Masyarakat Digital,” Prisma, Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi, Vol. 40, No. 2, 2021.

Tashakkori, Abbas dan Charles Teddlie. (eds.). 2003. Handbook of Mixed Methods in Sosial & Behavioral Research. Thousand Oaks: Sage Publications.

                     

 

Jl. Gajayana 50 Malang 65144 - Jawa Timur - Indonesia

  • dummy+1 (0341) 551354

  • dummy+1 (0341) 551354

  • dummy humaniora@uin-malang.ac.id