Mudjia Rahardjo
(Tulisan ke-2)
Selain pengelompokan sebagaimana pada tulisan sebelumnya, ada sebagian ilmuwan yang membagi ilmu pengetahuan berdasarkan kegunaannya menjadi tiga kelompok, yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu formal (Liliweri, 2018: 10). Pengelompokan bisa dilihat pada tabel berikut dengan memasukkan ilmu humaniora ke dalam kelompok ilmu sosial.
Ilmu Alam | Ilmu Sosial dan Humaniora | Ilmu Formal |
Kimia, fisika, biologi, astronomi, dengan menggunakan metode a posteriori. | Sosiologi, antropologi, sejarah, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu komunikasi dan sejenisnya dengan menggunakan metode a posteriori. | Matematika, aritmatika, dan logika dengan menggunakan metode a priori. |
Ilmu alam (natural sciences) ialah ilmu yang mempelajari semua fenomena alam dan benda-benda fisik, baik yang ada di darat, laut, dan angkasa, seperti kimia, fisika, biologi, dan astronomi. Ilmu dalam kategori ilmu alam memiliki tingkat kepastian dan ketepatan tinggi, dan bersifat independen (value free) dari orang yang melakukan penyelidikan ilmiah. Karena itu, kelompok ini sering disebut ilmu pasti (exact sciences). Dua orang mahasiswa fisika, misalnya, yang melakukan penyelidikan suatu objek yang sama dengan cara dan instrumen yang sama harus menghasilkan temuan yang sama terlepas dari ruang dan waktu berbeda. Jika tidak, satu di antaranya pasti salah, atau bisa jadi keduanya salah.
Tidak seperti ilmu alam yang objek kajiannya benda-benda non-hayati, objek studi ilmu sosial (social sciences and human sciences) adalah manusia dan masyarakat. Manusia digambarkan oleh Hegel sebagai makhluk berkesadaran diri, tak hadir di dunia sebagai benda, sebagaimana pandangan positivistik, melainkan subjek yang berpikir, berefleksi, dan bertindak secara bebas, sehingga tidak memiliki kepastian, tidak berlaku setiap saat dan tempat, dan tidak konsisten. Dengan karakteristik semacam itu, hasil penyelidikan ilmu sosial tidak bisa digeneralisasikan.
Sebagai contoh, mahasiswa sosiologi yang mengkaji kesejahteraan masyarakat di suatu masyarakat akan menemukan makna, tingkat, dan bentuk kesejahteraan yang berbeda di masyarakat berbeda. Kesejahteraan sangat ditentukan oleh banyak hal, seperti budaya yang berkembang, pengalaman dan pandangan hidup (worldview) mereka. Lagi pula tidak ada instrumen yang dapat mengukur kesejahteraan secara tepat, kecuali peneliti sendiri sebagai instrumen utama.
Begitu juga mahasiswa linguistik yang mengkaji mengenai kesantunan berbahasa (language politeness) di suatu masyarakat tertentu akan menemukan makna dan ukuran tentang kesantunan secara berbeda-beda di tempat yang berbeda. Apa yang dianggap santun di suatu tempat belum tentu santun di tempat lain, dan sebaliknya. Bisa jadi lima orang mahasiswa yang meneliti kesantuan di masyarakat berbeda akan menemukan makna dan tingkat kesantunan berbeda. Bahkan andai penelitian dilakukan di tempat yang sama pun, tetapi dalam waktu berbeda, dimungkinkan akan menghasilkan temuan berbeda. Dan, bisa saja kelimanya benar semua, ada yang salah, atau salah semua, tergantung pada kebenaran secara metodologis.
Itulah keunikan ilmu sosial yang dikaji melalui penelitian kualitatif. Sejak awal memang metode kualitatif memiliki corak pemikiran tersendiri. Metode kualitatif berangkat dari pandangan Weber yang lebih interpretif bahwa kebenaran bukan hanya persoalan dunia objektif, tetapi juga diperoleh dari subjek. Subjek adalah individu yang juga menentukan kebenaran. Karena itu, siapa pun yang belajar ilmu sosial dan humaniora harus menyadari ketidakpastian, ketidaktepatan, inkonsistensi objek yang dikaji dan corak pemikiran seperti itu.
Karena kondisi semacam itu, akibatnya hasil penelitian ilmu sosial kurang dipertimbangkan dalam kegunaan praktis yang lebih luas, misalnya dalam rangka perencanaan pembangunan masyarakat. Ilmuwan sosial baru dimanfaatkan ketika pembangunan yang menggunakan teknologi mengakibatkan ekses sosial yang serius.
Gambaran tersebut membawa konsekuensi pemahaman bahwa temuan penelitian sosial kualitatif sejatinya hanya berlaku di mana dan kapan penelitian dilakukan. Bergesernya tempat dan waktu akan mengubah hasil penelitian karena data telah berubah, kecuali jika penelitian dapat menghasilkan teori, bukan sekadar proposisi. Inilah sulitnya penelitian sosial kualitatif. Karena itu, tidak berlebihan jika Borg dan Gall, (Sugiyono, 2014: i) menyatakan dari sisi tingkat kesulitan penelitian kualitatif jauh lebih sulit dibanding penelitian kuantitatif.
“Qualitative research is much more difficult to do well than quantitative research because the data collected are usually subjective and the main measurement tool for collecting data is the investigator himself”.
Kesulitan penelitian kualitatif tidak saja karena tidak ada metode baku untuk menganalisis data, tetapi juga karena instrumen utama pengumpulan dan analisis data adalah peneliti sendiri sehingga kualitas data dan temuan penelitian sangat tergantung pada expertise peneliti sendiri. Peneliti yang belum berpengalaman akan menghasilkan temuan berbeda dibanding peneliti senior yang sudah banyak pengalaman.
Kesulitan lainnya yang dihadapi peneliti sosial, menurut Kleden (1988: iii), ialah bukan hanya teori yang menentukan praktik, tetapi juga kepentingan praktis sering lebih menentukan pertimbangan teoretis. Akibatnya, proses penelitian tidak dapat berjalan sebagaimana amanat teori, tetapi adanya suatu kepentingan. Mengutip Kerlinger, Ignas Kleden lebih lanjut mengemukakan persoalan lain yang membuat ilmu sosial seakan mandek ialah karena hampir semua penelitian sosial yang dilakukan ilmuwan sosial lebih untuk menjawab rumusan masalah yang bersifat praktis daripada teoretis. Dari awal penelitian sudah diharapkan memberi kontribusi bagi pemecahan masalah secara praktis, sebelum persoalan teoretiknya dirumuskan secara jelas.
Contoh pertanyaan praktis ialah “Apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk memperbaiki penggunaan bahasa masyarakat?”. Atau, “Faktor apa saja yang menjadi kendala perubahan sosial?”, dan sebagainya. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam itu ialah sekadar pengetahuan praktis, atau pengetahuan deskriptif, yang membuat kemandekan ilmu sosial. Untuk penelitian ilmiah setingkat tesis dan disertasi, seyogyanya pertanyaan yang diajukan bersifat teoretik. Untuk karya ilmiah tingkat sarjana (S1) masih dapat dimaklumi.
Bagaimana ciri rumusan masalah teoretik dalam penelitian sosial kualitatif? Menurut Kleden (1988) pertanyaan bersifat teoretik biasanya mengandung dua hal, yaitu apa yang ada dan tidak ada, dan seberapa jauh kita mengetahui apa yang ada dan tidak ada. Terkait tema penelitian bahasa, pertanyaan teoretisnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apa makna berbahasa yang baik dan benar bagi masyarakat?
Nilai-nilai budaya apa yang sangat kuat mengikat pilihan ragam berbahasa seseorang?
Ketika dihadapkan pada pilihan praktis atau teoretis, mana yang mesti dipilih?
Jawabnya tergantung pada siapa yang melakukan penelitian. Keduanya bisa dipergunakan. Mereka yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, penelitian praktis lebih tepat. Tetapi bagi mereka yang bekerja di lembaga-lembaga penetian atau mengajar di perguruan tinggi, penelitian teoretis lebih tepat digunakan karena untuk pengembangan ilmu.
Kelompok ketiga ialah ilmu formal, yaitu seperti matematika dan logika. Tidak seperti ilmu alam dan ilmu sosial yang mengkaji sesuatu yang empirik (kasat mata), sehingga keduanya disebut kelompok ilmu empirik, ilmu formal mengkaji objek abstrak berupa konsep. Dalam matematika, angka adalah simbol konsep dengan metode a priori. Metode a priori menentukan kebenaran bukan dari kenyataan empirik, melainkan logika. Metode a priori dikembangkan dari aliran filsafat rasionalisme yang menganggap rasio sebagai sumber utama pengetahuan. Dalam konteks pengembangan ilmu, ilmu formal sangat berjasa menghasilkan berbagai ilmu terapan, seperti teknik, kedokteran, ilmu kesehatan, akuntansi, pendidikan, dan sejenisnya.
Demikian corak, ragam dan tugas ilmu sosial yang sejak kelahirannya dua abad silam memiliki keunikan. Tidak saja objek kajiannya unik, tetapi juga perkembangan juga menarik untuk disimak. Ilmu sosial lahir dari sejarah panjang pemikiran para filsuf dan ditunjang oleh dua peristiwa besar di Eropa, yaitu Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Prancis. Perkembangan ilmu sosial, terutama sosiologi, tidak hanya di benua Eropa, seperti Belanda, Jerman dan Prancis, tetapi juga ke Amerika Serikat. Menurut Selo Sumardjan (1994), di Eropa sosiologi berkembang dari pergulatan pemikiran teoretik, hingga melahirkan banyak teori sosiologi dan teoritikus besar seperti Max Weber. Tetapi di Amerika sosiologi berkembang dari penerapannya untuk melihat persoalan-persoalan masyarakat, apalagi kemudian ilmu sosial diabdikan untuk kepentingan ekonomi. Karena itu, sangat sedikit teori sosiologi lahir dari Amerika Serikat. Hanya teori dari Talcott Parson yang menonjol. Maka, dapat dikatakan di Eropa ilmu sosial berpijak pada “ilmu yang dikembangkan”. Sedangkan di Amerika Serikat bertumpu pada “ilmu yang dikembangkan”.
Kendati berkembang dari tradisi yang berbeda, ilmu sosial sejak kelahirannya hingga saat ini terus menerus bergumul mencari jawaban tentang hakikat manusia dan keberadaannya. Hari Fisafat Sedunia, 17 November 2022, mengambil tema “The Human of the Future” (Manusia Masa Depan). Pokok persoalannya ialah di tengah-tengah dunia yang dipenuhi berbagai perkembangan teknologi, mulai proyek kecerdasan buatan (artificial intelligence) hingga rekayasa genetika, siapa sebenarnya yang kita sebut “manusia”? (Murtiningsih, 2022). Tema tersebut serasa seiring dengan pertanyaan sosiologi sejak kelahirannnya. Tampaknya, hakikat dan keberadaan manusia akan terus menjadi perbincangan objek utama ilmu sosial dan humaniora! (bersambung).
Malang, 19 Desember 2022
Daftar Pustaka:
Kleden Ignas. 1988. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Liliweri, Alo. 2018. Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Murtiningsih, Siti. 2022. “Filsafat Ambang Batas Kemanusiaan”, Kompas, 16 Desember
2022.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Sumardjan, Selo. 1994. “Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia?”, Prisma, Majalah Kajian Ekonomi
dan Sosial, No. 1, Tahun XXIII Januari 1994.