Lilik Iswanti, mahasiswi kelahiran Madiun 21 tahun silam ini di kelas dikenal sebagai sosok yang aktif, komunikatif dan ulet. Tak hanya aktif di bangku kuliah, alumni Madrasah Aliyah Negeri Mejayan 4 Madiun ini juga merupakan salah satu pegiat di salah satu komunitas mahasiswa Fakultas Humaniora, El Jidal. El-Jidal merupakan komunitas mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab yang bergerak di pengembangkan minat debat bahasa Arab.
Meski mengambil jurusan bahasa Arab, ternyata di dalam keluarga besarnya, Lilik juga dekat dengan kebudayaan Jawa. Dan sengaja dididik bapaknya menyukai kesenian Jawa. Lilik sering diajak oleh bapaknya menonton wayang, menonton ketoprak juga pentas ludruk. Kadang juga mendengarkannya siaran wayang, ketoprak dan ludruk tersebut lewat radio.
Lilik merupakan salah satu mahasiswa yang terlibat dalam proyek penerjemahan karya sastra daerah yang diinisiasi oleh Balai Bahasa Jawa Timur (BBJT) tahun 2021 lalu. Menurutnya, proses penerjemahan yang ia lakukan berjalan cukup lancar, karena bahasanya lumayan ramah di telinga. Lilik meyakini, hal tersebut akibat ia sering diajak bapaknya mendengarkan siaran wayang, dan pementasan tradisional budaya Jawa. Meskipun demikian, ia mengaku ada beberapa bagian yang membuatnya harus memutar otak dan mengerahkan segala kemampuannya selama proses menerjemah proyeknya tersebut. “Saat menerjemahkan gurit (puisi), saya benar-benar tidak paham seperti menghadapi dinding tebal. Mungkin itu karena bahasa gurit lebih padat dan berbeda dengan bahasa cerkak (cerpen).” Ungkapnya ketika ditemui tim Infopub Fakultas Humaniora.
Barangkali, kata Lilik, karena karya gurit yang ia baca telah masuk kategori sastra Jawa itu sendiri, bukan lagi dalam kategori bahasa Jawa, yang masih bisa ia pahami sebagaimana saat membaca prosa berbahasa Jawa. Sampai-sampai, ketika mencoba membaca gurit, ia sempat bertanya banyak hal kepada bapaknya terkait diksi. Dan bapaknya juga tidak tahu banyak maksud dari gurit tersebut. Tapi untuk terjemahan novel, Lilik yakin lumayan baik hasil terjemahannya.
Akhir Juni 2021 berlokasi di Fave Hotel, Sidoarjo, Lilik menghadiri acara “Penandatanganan Kontrak Kerja dan Pembelian Lisensi Penerjemah” dari pihak BBJT. Untuk naskah yang akan diterjemahkan, para penerjemah ini tidak bisa memilih sendiri. Naskah sudah ditentukan pihak BBJT, misalnya harus menerjemahkan gurit, cerkak, atau novel. Kata Lilik setiap penerjemah mendapat satu buku berbahasa daerah untuk diterjemahkan, entah itu novel, kumpulan gurit, atau kumpulan cerkak. Lima belas (15) orang yang lolos seleksi, dibagi menjadi: 10 penerjemah menerjemahkan karya berbahasa Jawa; 3 penerjemah menggarap karya berbahasa Madura; dan 2 penerjemah sisanya menggarap karya berbahasa Using.
Lilik dikontrak menerjemah dalam waktu 75 hari, dengan ketentuan: menyerahkan 40% hasil penerjemahan di hari ke 30; 70 persennya di hari ke 50; dan 100 persen di hari ke 75. Proses menerjemahkan memang cukup menyedot tenaga. Awalnya Lilik menargetkan 2 halaman tiap hari selama 75 hari, karena jumlah halaman novel yang harus ia terjemahkan adalah 130-an halaman. Tapi ternyata semangat membuncah Lilik cuma berlangsung di awal, sisanya ia sempat dilanda rasa jenuh dan kendor karena rasa capek. Saat itu, ada banyak aktivitas seperti PKL dan kegiatan di Ma'had. Mendekati deadline ia sering lembur, terutama di 3 hari menjelang pengumpulan hasil terjemahan.
Di antara kendala lain, meski ia mengerti bahasa Jawa, Lilik mengaku tetap bingung menerjemahkan beberapa kata yang sama sekali tidak pernah ia dengar atau baca, karena perbedaan dialek. Sebab, pengarang novel tersebut, yakni Pak Tiwiek SA, adalah orang Tulungagung, yang juga kerap menggunakan dialek lokal. Sementara Lilik adalah orang Caruban, Madiun, mepet ke Jawa Tengah. Ini berefek pada kesulitan penerjemahaan novel tersebut.
Lilik iseng mencari-carinya di kamus, ternyata ada kamus bahasa Jawa-Indonesia terbitan Badan Bahasa. Lilik juga sempat menggunakan laman tertentu untuk membantu menerjemahkan dari Jawa ke Indonesia. Tapi itu semua belum bisa membantunya menerjemahkan dialek yang tidak ia ketahui. Bahkan pada saat menerjemahkan Lilik kerap menelpon bapaknya di rumah, menanyakan sesuatu atau makna kata yang tak ia mengerti artinya.
Tidak semua ungkapan novel menggunakan bahasa kromo. Novel tersebut terbilang ramah bahasanya. Ya memang ada beberapa bagian yang menggunakan kromo halus. Lilik mengatakan justru lebih mudah kalau bahasanya menggunakan kromo halus, karena semua bahasa kromo itu sama di mana pun dan bisa dicari artinya. Lain ceritanya bila sebuah novel menggunakan bahasa ngoko yang sudah pasti bercampur dengan dialek-dialek lokal, yang antar-daerah bisa sangat berbeda [MS].