Prof. Dr. Mudjia Rahardjo, M.Si., CIQnR
Di suatu forum ujian, terjadi tanya jawab antara dosen dan mahasiswa yang diuji. Dosen menanyakan metode penelitian apa yang digunakan untuk menyelesaikan tugas akhir. Mahasiswa menjawab “metode penelitian kualitatif.” Selanjutnya dosen mengajukan beberapa pertanyaan teknis, seperti berapa lama penelitian dilakukan, apa saja kendala yang ditemui selama penelitian, berapa jumlah informan dan lain-lain. Setelah mahasiswa menjawab “metode kualitatif”, mestinya dosen penguji melanjutkan pertanyaan “tradisi penelitian kualitatif apa yang digunakan.” Saya tidak mengerti mengapa dosen tidak menanyakan hal itu. Apa khawatir mahasiswa tidak bisa menjawab atau sang dosen sendiri tidak mengerti bahwa penelitian kualitatif memiliki beberapa metode atau tradisi. Sejak kelahirannya pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran sosiologi interpretif Max Weber (1864-1920), (Neuman, 2000:70), metode penelitian kualitatif berkembang sangat cepat dan kompleks.
Tidak seperti positivistik yang berkembang hanya sampai tradisi postpositivistik, penelitian kualitatif mengalami perkembangan dalam banyak hal, mulai asumsi-asumsi dasar filosofis, prosedur, dan tujuan penelitian. Medan atau lokus penelitiannya juga bertambah. Jika selama ini dikenal tiga lokus penelitian, yaitu penelitian lapangan (field research). penelitian laboratorium (laboratory research), penelitian pustaka (library research), dengan perkembangan media sosial sekarang dikenal penelitian di dunia maya (cyber research). Masing-masing model atau tradisi memiliki prosedur masing-masing. Misalnya, prosedur dalam tradisi postpositivistik berbeda dengan tradisi interpretif fenomenologi, berbeda lagi dengan tradisi penelitian grounded, berbeda pula dengan tradisi penelitian kritis dan seterusnya.
Perkembangan lokus penelitian tentu saja membuat metode penelitian kualitatif menjadi semakin beragam. Apalagi dalam hal analisis data, penelitian kualitatif telah memasuki era 1.5 (alias sangat kompleks). Jika tidak mau belajar dan mengikuti perkembangan metodologi penelitian, orang akan ketinggalan banyak hal dalam waktu singkat. Pertanyaan “metode penelitian kualitatif yang mana” ini tidak mudah dijawab. Perkembangan metodologi tidak saja pada metode kualitatif penelitian lapangan (field qualitative research methods), tetapi juga penelitian pustaka atau studi teks, mulai Content Analysis (baik kuantitatif maupun kualitatif), Discourse Analysis, Critical Discourse Analysis, Hermeneutics hingga Analytical Philosophy. Karena itu, diperlukan philosophical dan methodological overview mendalam untuk bisa menjawabnya.
Sebagaimana telah diuraikan di muka, metode penelitian kualitatif setidaknya memiliki tujuh model atau tradisi yang perlu kita ketahui sebagai berikut: 1. postpositivistik, 2. interpretif/fenomenologi, 3. Grounded Research, 4. postmodernisme, 5. hermeneutika, 6. metode kritis, dan 7. postkualitatif. Berikut adalah rangkuman dari uraian di muka dan beberapa tambahannya:
- Tradisi Postpositivistik.
Sebagaimana diuraikan di muka postpositivistik adalah suatu paradigma kelanjutan positivistik. Disebut kelanjutan positivistik, karena cara berpikir dan prosedur penelitian masih mengikuti cara berpikir positivistik. Misalnya, menggunakan teori sebagai dasar penelitian dan menganggap realitas itu tunggal. Tetapi ia mengoreksi cara pandang postitivistik yang menganggap peneliti bisa memeroleh kebenaran absolut dari kegiatan penelitian. Penggunaan postpositivisme pertama kali dalam ilmu sosial adalah pada karya Weber akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di mana Weber mengembangkan konsep ”verstehen” (pemahaman) bahwa realitas sosial harus dipahami dari perspektif subjek, bukan peneliti (Given, 2008: 660). Karl R. Popper adalah tokoh di balik postpositivisme yang menyatakan tidak mungkin seorang peneliti dapat memeroleh kebenaran absolut. Sebab, dalam proses penelitian selalu saja ada kesalahan atau kekurangan. Misalnya, data tidak tidak lengkap, pengamatan tidak sempurna, analisis dan interpretasi tidak tepat dan sebagainya.
Namun tetapi, postpositivisme setuju dengan cara pandang positivisme bahwa kebenaran ada di tangan peneliti dan penelitian dimulai dari teori untuk selanjutnya dibuktikan. Teori digunakan sebagai landasan penelitian sejak awal hingga akhir. Postpositivisme melahirkan metode penelitian kuasi kualitatif yang artinya tidak sepenuhnya kualitatif (separuh kuantitatif dan separuhnya lagi kualitatif). Orang menyebut kuasi kualitatif sebagai kualitatifnya metode penelitian kuantitatif (Burhan Bungin, 2022). Hasil akhir postpositivistik berupa konstruksi teori di mana peneliti mengembangkan teori dari teori-teori yang telah ada. Pun postpositivistik tidak memerlukan pendapat ahli untuk menentukan kebenaran. Sebab, baginya kebenaran adalah milik peneliti sebagai seorang ilmuwan yang memiliki otori tas secara independen. Untuk mengenal lebih jauh tradisi postpositivistik, karya Mudjia Rahardjo (2021) berjudul “Sosiologi Pedesaan: Studi Perubahan Sosial” bisa digunakan sebagai referensi awal bagaimana prosedur penelitian postpositivistik dilakukan.
- Tradisi Interpretif/fenomenologi.
Metode penelitian interpretif juga mengritik positivisme yang dianggap gagal memahami makna manusia sebagai makhluk berkehendak yang memiliki intensi dan kapasitas untuk bisa berpikir bebas dan merasakan sesuatu (to think and feel something). Interpretif fenomenologi lahir tahun 1900. Positivisme dianggap mengabaikan konteks sosial dan antihumanisme. Tidak seperti positivisme yang berangkat dari studi literatur untuk memulai penelitian, interpretivisme terjun ke lapangan untuk menemukan isu-isu menarik dan unik serta menggunakan teknik pengamatan berperan serta (participant observation) untuk mendapatkan data.
Menurut Neuman (2000) jika positivisme menggunakan ratusan atau bahkan ribuan orang sebagai responden, interpretivisme memerlukan waktu berjam-jam, berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk berinteraksi dan hidup bersama subjek penelitian. Tidak seperti positivisme yang menggunakan teori sebagai landasan penelitian sejak awal, interpretivisme tidak menggunakan teori di awal penelitian. Justru peneliti dituntun ke lapangan untuk menemukan isu unik, mengumpulkan data, menganalisisnya dan membangun teori. Menurut Burhan Bungin (2022), andai peneliti sudah mengusai teori sebelumnya, dia harus sabar menahan diri dulu untuk tidak terburu-buru menggunakannya sebelum sampai akhirnya menemukan teori. Setelah teori berhasil dibangun, barulah peneliti fenomenologi melakukan kajian literatur (literature review) dan menggunakan teori untuk tujuan konfirmasi. Proses penelitian model ini bersifat induktif.
Sebagaimana Thomas Kuhn yang menyatakan kebenaran adalah hasil intersubjektivitas, maka peneliti interpretivisme fenomenologi memerlukan pendapat ahli untuk menentukan kebenaran agar terhindar dari kesalahan berupa opini pribadi atau subjektivitas berlebihan. Penelitian interpretivisme meliputi fenomenologi, hermeneutika, etnografi, dan etnometodologi. Penelitian interpretivisme biasanya bertujuan menggali pengalaman subjek dalam suatu peristiwa kehidupan dari perspektif subjek. Interpretivisme menganggap realitas sosial itu bersifat plural sehingga tidak bisa dibuat generalisasi.
- Tradisi Grounded Research.
Penelitian grounded memerlukan perhatian khusus di antara metode-metode kualitatif lainnya. Karena prosedurnya khas, orang menyebut penelitian grounded sebagai penelitain kualitatif murni (pure qualitative) atau kualitatifnya metode kualitatif. Metode penelitian grounded didirikan Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss melalui karyanya “The Discovery of Grounded Theory” (1967). Metode ini memfokusan pada fase-fase analitis penelitian dengan seperangkat pedoman yang sistematik tetapi fleksibel dalam analisis data secara induktif hingga menemukan teori baru (the discovery of a new theory), bukan berupa konstruksi teori. Berbeda dengan tradisi postpositivistik yang menggunakan teori di awal penelitian sebagai landasan dan interpretif fenomenologi di akhir penelitian untuk konfirmasi, maka penelitian grounded sama sekali tidak menggunakan teori baik di awal maupun di akhir penelitian. Justru penelitian grounded ingin menemukan teori baru yang sam sekali tidak ada hubungannya dengan teori mana pun. Analisis data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data secara interaktif sepanjang kegiatan penelitian.
Beberapa prinsip penting dalam penelitian grounded ialah penelitian tidak dimulai dari teori dan kajian literatur, melainkan peneliti terjun langsung ke lapangan untuk menemukan isu-isu menarik dan unik, pertanyaan penelitian dibuat di lapangan. Mengapa peneliti grounded menganalisis data langsung di lapangan? Karena, peneliti tidak mau kehilangan konteks sosial di mana data berada. Karena berada di bawah payung paradigma konstruktivistik, peneliti grounded yakin bahwa makna data sangat ditentukan konteks sosialnya. Penelitian grounded menggunakan sampling teoretik (theoretical sampling) untuk membangun teori. Sampling teoretik ialah peneliti mencari dan mengambil sampel dari data yang mengandung kategori-kategori teoretik. Makna “sampling” di sini tidak sama dengan makna “sampling” dalam tradisi penelitian kuantitatif. Selain, sampling teoretik, penelitian grounded menggunakan saturasi teoretik, yaitu mencari data untuk mengindentifikasi dan memenuhi semua ciri-ciri kategori teoretik. Karya Cliford Geertz (1960) berjudul “The Religion of Java” adalah penelitian grounded monumental yang dapat digunakan sebagai contoh.
- Tradisi Postmodernisme.
Postmodernisme pada awalnya adalah suatu gerakan pemikiran yang terjadi di Barat pada akhir abad ke-20 yang kemudian berkembang ke ranah metodologi penelitian kualitatif. Secara filosofis, postmodernisme berakar dari filsafat eksistensialisme, nihilisme, dan anarkhisme ala berpikir Heidegger. Menurut Given (2000) gerakan pemikiran itu menyangkut bidang arsitektur, seni, sastra, dan kritik budaya yang menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Penelitian postmodernisme mengubah sikap para ilmuan dan peneliti dalam memandang realitas karena perubahan sosial masyarakat yang demikian cepat dan pesat. Diperlukan landasan filsafat, teori, dan metodologi baru yang tepat dalam menghadapi perubahan dengan melakukan dekonstruksi terhadap doktrin-doktrin modernitas. Ia menolak segala hasil observasi empirik yang sistematik, dan meragukan bahwa ilmu pengetahuan bisa digeneralisasikan.
Menurut Noeng Muhadjir (2000) postmodernisme menolak modernitas yang ditandai oleh pola pikir serba rasional, fungsional, interpretif, dan kritis. “Postmodernism is a rejection of modernism.” Aktivitas ilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari, membuktikan, dan mengkonfirmasikan kebenaran. Selain itu, ilmu pengetahuan masih berkutat dengan urusan teori semata. Misalnya, positivistik membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi melalui uji validitas, interpretivisme membuat kesimpulan generative dari esensi lewat thuthworiness dan triangulasi. Bahkan hingga metode kritis ilmuwan masih “mengejar” grand theory. Inilah yang ditolak oleh postmodernisme.
Sebenarnya, Noeng Muhadjir lebih lanjut menyatakan bahwa postmodernisme, tidak menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Tugas ilmuwan bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematis. Menurut Noeng Muhadjir (1982) jika pada era modern, kontradiksi intern merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori, maka dalam era posmo kontradiksi adalah sesuatu yang dapat diterima. Tata pikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Jika di era modernitas ilmiah bergerak dari tesis atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain, maka dalam era posmodernisme dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Jika pada era modern, baik positivist maupun postpositivist, para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik secara linier pada positivist, maupun secara kreatif pada postpositivistik, pada era postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif, melainkan menemukan secara kreatif kekuatan momental dari berbagai sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan.
Laporan penelitian postmodernisme tidak perlu detail. Tetapi dibuat seolah karya sastra yang menghibur pembacanya. Menurut postmodernis, pengetahuan tentang kehidupan sosial lebih baik disampaikan dalam bentuk sandiwara daripada dalam jurnal ilmiah yang kaku. Selain itu, postmodernis juga antielite dan menolak penggunaan ilmu pengetahuan untuk memprediksi masa depan dan membuat kebijakan. Ilmu pengetahuan tidak bisa diginakan untuk memperkuat relasi kuasa dan birokrasi untuk mengontrol masyarakat. Penelitian ilmiah, sehebat apa pun, tidak pernah bisa menggambarkan realitas yang sebenarnya terjadi. Prinsip kausalitas tidak bisa digunakan dalam penelitian. Sebab, kenyataannya kehidupan terlalu kompleks dan berkembang begitu cepat. Karena itu, dalam pandangan postmo untuk menghadapi perubahan ini diperlukan pemikiran yang tidak hanya sistematik, tetapi juga sinergik. Inilah esensi penelitian kualitatif tradisi postmodernisme.
- Tradisi Hermeneutika.
Selain sebagai aliran dalam filsafat, hermeneutika adalah sebuah metode memahami dan menafsir teks. Secara sederhana, menurut Blaike (Neuman 2000:70), hermeneutika adalah teori tentang makna (meaning) untuk membuat sesuatu yang samar-samar menjadi jelas. Hermeneutika digunakan secara luas di disiplin-disiplin ilmu humaniora (filsafat, seni, sejarah, studi agama, linguistik, dan kritik sastra). Penekanan hermeneutika adalah pada “pembacaan dan kajian secara mendetail terhadap suatu teks, yang bisa berupa percakapan, teks tertulis, atau gambar. Peneliti hermeneutika melakukan “pembacaan” untuk menemukan makna yang tersimpan di dalam teks sesuai pengalaman subjektif masing-masing. Ia berusaha menangkap isi secara keseluruhan kemudian mengembangkan pemahaman secara mendalam bagaimana bagian-bagian teks saling berhubungan secara keseluruhan. Dasar berpikir hermeneutika adalah makna sesungguhnya suatu teks tidak pernah sederhana atau tampak nyata di permukaan. Karena itu, harus dicari dengan merenungkan pesannya dan mencari tali-temali antarbagian dalam teks.
Istilah “hermeneutika” sebagai metode tafsir teks tidak bisa dilepaskan dari nama dewa dalam mitologi Yunani Kuno, yaitu dewa Hermes. Hermes bertugas menerjemahkan pesan Tuhan ke dalam bahasa manusia. Sebab, asumsinya pemahaman tidak bisa disampaikan secara langsung. Agar tugas tersebut berhasil dengan baik, Hermes harus menguasai bahasa dan jalan pikiran Tuhan dan bahasa dan jalan pikiran manusia. Karena itu, wilayah kerja hermeneutika adalah manusia dan teks, manusia dan manusia, atau manusia dan dunia di mana “makna” terbuka untuk ditafsir menurut penafsirnya. Hermeneutika berkembang dan mewarnai pemikiran Barat sejak abad ke-18 dan menjadi hermeneutika filosofis. Dalam operasionalnya, hermeneutika mencakup tradisi, bahasa, dialog, pengalaman, dan konteks dalam memahami teks (Given, 2008).
Awalnya hermeneutika hanya digunakan untuk menafsir kita suci Bibel dan naskah hukum, kemudian berkembang menjadi aliran pemikiran dalam filsafat kontinental yang berpengaruh dan dalam penelitian-penelitian terapan dalam ilmu sosial. Adalah Friedrich Schleiermacher (1768-1834), seorang filsuf yang mengembangkan hermeneutika dari sekadar metdoe memahami kitab suci Bibel dan naskah hukum ke teks-teks kehidupan lainnya. Karena Schleiermacher, hermeneutika berkembang menjadi metode tafsir teks secara universal.
Schleiermacher membuka pintu lebar-lebar dalam dunia penafsiran bahwa pemahaman dan penafsiran secara alamiah terjadi dan melibatkan kapasitas kemampuan manusia sekaligus ketidakmampuannya. Jika manusia selalu bisa memahami apa yang dilihat, diketahui, dibaca dan sebagainya secara benar dan tepat, profesi semacam birokrat, guru, peneliti dan sebagainya tidak diperlukan. Karena pemahaman bisa salah atau disalahpahami, maka teori penafsiran hermeneutika diperlukan dalam kehidupan. Juga karena manusia terus menerus berusaha memahami dunia sekitarnya baik yang dikenali dengan baik ataupun tidak, maka memahami suatu pemahaman adalah inti dari penelitian sosial. Karena itu, pendekatan-pendekatan hermeneutika kontemporer menyangkut proses di mana pemahaman dan interpretasi terjadi dan kebenaran ungkapan interpretatif itu seperti apa.
Sebagai bagian dari metode penelitian sosial kualitatif, hermeneutika berkembang menjadi banyak varian dari Friedrich Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Martin Heidegger (1889-1976), Hans-Georg Gadamer (1900-2002), Paul Ricoeur (1913-2005), Jurgen Habermas (1929 -), hingga Jackie Ellie Derida (1930-2004). Masing-masing hadir dengan teori dan metode berbeda-beda.
Dalam kaitannya dengan penelitian kualitatif, hermeneutika mengubah konsep penelitian atau kajian dari sekadar upaya mencari penjelasan atau pemahaman tentang seseorang atau sesuatu ke upaya mengenai hakikat pemahaman manusia secara dinamis dan historis.walaupun tidak menawarkan metode yang jelas, hermeneutika memberi pengaruah sangat kuat pada teori dan praktik penelitian kualitatif dalam beberapa hal. Pertama, bahasa dengan semua sistem simbolnya memediasi pengalaman manusia tentang dunia. Peneliti kualitatif memberi perhatian besar pada penggunaan bahasa oleh partisipan penelitian. Kedua, peneliti kualitatif bergelut dengan data yang disebut ideografik berupa tulisan, gambar, slide, video, teks, simbol dan sebagainya yang semuanya memerlukan pemahaman reflektif di mana interpretasi dan pemahaman terus berkembang secara simultan. Melalui studi mendalam dan kontemplasi menyeluruh, hermeneutika tidak hanya dapat mengungkap makna yang tersembunyi di dalam teks, tetapi juga temuan yang bersifat sinkretis, perpaduan dari beragam pandangan dan keyakinan. Karya Mudjia Rahardjo (2007) berjudul “Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur” adalah studi hermeneutika yang layak dijadikan referensi bagi peminat hermeneutika.
- Tradisi Metode Kritis
Jika penelitian tradisi postmodernisme menolak segala sesuatu yang serba “modernitas” dan menggugat penggunaan rasionalitas berlebihan, maka tradisi penelitian kritis menawarkan pendekatan berbeda dengan mendasarkan filsafatnya pada materialisme dialektik, analisis kelas, dan strukturalisme dengan menggabungkan pendekatan nomotetik dan ideografik sekaligus. Metode kritis memberi kritik sangat tajam terhadap ilmu-ilmu positivistik yang dianggap sangat sempit dan dangkal, tidak demokratis, dan tidak humanis.Tradisi ini juga mengritik interpretivisme karena dianggap terlalu subjektif dan relatif serta menganggap ide jauh lebih penting daripada keadaan yang sesungguhnya serta fokus hanya pada peristiwa-peristiwa sesaat, pada level mikro dan lokal serta mengabaikan hal-hal yang lebih luas, dan berjangka panjang. Yang lebih penting lagi, ilmu-ilmu interpretif sama sekali tidak memberikan keberpihakan kepada kelompok tertindas dan terpinggirkan untuk memperbaiki kehidupan mereka. Tujuan utama penelitian kritis ialah untuk mengubah dunia dengan cara melakukan pemberdayaan kepada mereka yang tidak beruntung. Bagi pendekatan kritis, ilmu sosial seharusnya menemukan mitos, kebenaran yang tersembunyi, dan membantu masyarakat mengubah dunia untuk kehidupan mereka sendiri yang lebih baik. Bagi pendekatan kritis, perubahan sosial dan konflik tidak selalu tampak ke permukaan dan dapat diobservasi sehingga perlu kajian serius dan mendalam. Dunia sosial itu penuh ilusi, kepalsuan, distorsi, dan mitos. Ilmu pengetahuan memiliki keterbatasan mengungkap semuanya dan sering menyesatkan, karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman manusia.
Sebagai contoh penelitian kritis, misalnya, meneliti tentang deskriminasi karena gender, ras, agama, warana kulit dan sebagainya. Studi feminisme, studi lingkungan, studi gender dan sejenisnya adalah contoh-contoh penelitian kritis. Sebagai pertanggungjawaban akademik dan publik, menurut Neuman (2000), hasil penelitian kritis tidak hanya dipublikasikan di media, tetapi peneliti menemui organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk membahas hasil studi. Peneliti juga melakukan mobilisasi massa bersama para aktivis kemanusiaan untuk melakukan aksi-aksi politik atas nama keadilan sosial. Memang di Indonesia belum banyak penelitian kualitatif dengan tradisi metode kritis. Tetapi karya Ivanovich Agusta (2014) yang berjudul “Diskursus, Kekuasan, dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan” bisa digunakan sebagai contoh yang baik.Buku ini mengulas secara tuntas bagaimana teori kritis digunakan memotret masyarakat miskin pedesaan yang terpinggirkan dan upaya-upaya pemberdayaannya.
- Tradisi Postkualitatif.
Tradisi penelitian postkualitatif sangat dipengaruhi oleh filsafat postmodernisme. Dibanding tradisi-tradisi lain dalam penelitian kualitatif, tradisi postkualitatif relatif baru. Menurut Burhan Bungin (2022) istilah “postkualitatif” baru muncul sekitar 15 tahun lalu, walaupun idenya sudah ada sejak Glaser dan Strauss (1967) memperkenalkan penelitian grounded dengan pendekatan partisipatoris lewat karyanya “The Discovery of Grounded Theory.”
Penelitian postkualitatif tidak berangkat dari proposal, desain atau pedoman penelitian, sebagaimana penelitian konvensional. Bahkan tidak berangkat dari masalah, apalagi teori. Namun, peneliti langsung terjun ke lapangan mencari masalah dan mengumpulkan data dengan menemui subjek, berdialog dan ikut dalam kegiatan mereka. Peneliti postkualitatif berprinsip “lihat dan dengarkan mereka di lapangan.” Mereka beranggapan teori, desain, pedoman dan rumusan masalah itu semuanya membawa peneliti tersesat karena sudah terjebak aturan sebelum penelitian dilakukan. Dengan terlepas dari semua itu, peneliti akan bisa memeroleh informasi-informasi penting yang lebih akurat daripada sekadar tumpukan data hasil observasi, wawancara dan dokumentasi.
Penelitian postkualitatif tidak bisa dilakukan oleh peneliti pemula, tetapi oleh mereka yang senior dan sudah sangat berpengalaman dalam penelitian. Sebab, penelitian ini tidak saja mengandalkan wawancara, observasi, membaca catatan atau dokumen-dokumen terkait permasalahan secara biasa, tetapi melalui metode “pengindraan” yakni peneliti menggunakan semua kompetensi indrawi untuk melihat, membaca, memaknai dan menginterpretasi realitas. Bagi postkualitatif, data tidak begitu penting dalam penelitian, melainkan “informasi” bukan dari mereka yang punya otoritas, tetapi dari mereka yang mengalami dan mengetahui suatu peristiwa.
Tradisi postkualitatif semakin kompleks dengan kehadiran sebuah era yang disebut “post-truth society” yang menurut Schwab (2016) dimulai sejak masyarakat dunia memasuki abad ke-21. Era post-truth ditandai dengan penggunaan teknologi informasi dan media sosial yang begitu masif dalam semua segi kehidupan. Di era post-truth ada prinsip dasar bahwa informasi dan kebenaran adalah milik semua orang (apakah dia seorang penguasa, pejabat, orang kaya, ilmuwan, atau rakyat jelata). Karena itu, suatu saat bisa terjadi ilmuwan, peneliti, penguasa dan sebagainya akan kalah dengan orang-orang biasa karena mereka lebih mengetahui realitas daripada para ilmuwan yang memeroleh informasi melalui observasi dan wawancara sebagai senjata andalannya dalam mengumpulkan data. Selain itu, kebenaran tidak lagi atas dasar fakta, tetapi persepsi atau opini. Persepsi atau opini yang disampaikan secara terus menerus suatu saat bisa menjadi menjadi “kebenaran” walau awalnya diragukan.
Tradisi penelitian postkualitatif mengubah cara kita melakukan penelitian dan memahami asumsi-asumsi dasar mengenai realitas sebagaimana selama ini digunakan dalam penelitian-penelitian konvensional. Pertanyaan metodenya kuantitatif atau kualitatif sudah tidak lagi relevan. Sebab, semua campur dan melebur menjadi satu dalam bentuk big data. Analisis data kualitatif juga semakin rumit dengan kehadiran bermacam-macam aplikasi, seperti Nvivo, MAXSQDA, QuestionPro, Raven’s Eye, LiGre, QDA Lite, Dedoose, Glimpse, HubSpot, hyper-research dan sebagainya.
Selain beragamnya aplikasi analisis data, penelitian postkualitatif di era post-truth akan diramaikan dengan kehadiran berbagai penelitian berbasis cyber, seperti cyber-phenomenology, cyber-grounded research, cyber-ethnomethodology, cyber-case study, cyber-hermeneutics, dan cyber-ethnography atau netnography. Belum banyak referensi yang bisa kita jadikan pegangan untuk memahami itu semua. Tetapi karya Burhan Bungin (2023) berjudul “Netnography. Social Media Research Procedure, Big Data & Cybercommunity” dapat membantu peminat metodologi penelitian sosial mengenal penelitian cyber!
_________
Daftar Pustaka
Burhan Bungin. 2022. Post-Qualitative Social Research Methods. Kuantitatif-Kualitatif-Mixed Methods. Jakarta: Penerbit Kencana.
Burhan Bungin. 2023. Netnography. Social Media Research Procedure, Big Data& Cyber community. Kritik terhadap Kozinets. Jakarta: Penerbit Kencana.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press.
Given, Lisa M. (ed.). 2008. The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Methods. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: A Sage Publication.
Ivanovich Agusta. 2014. Diskursus, Kekuasan, dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mudjia Rahardjo. 2007. Hermeneutika Gadamerian. Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur. Malang. UIN-Malang Press.
Mudjia Rahardjo. 2023. Sosiologi Pedesaan: Studi Perubahan Sosial. Malang: UIN-Maliki Press.
Neuman, W. Lawrence. 2000. Social Research Methods. Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: A Pearson Education Company.
Noeng Muhadjir. 2007. Metodologi Keilmuan. Paradigma Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Schwab, Klaus. 2016. The Fourth Industrial Revolution. Cologny/Geneva/Switzerland: World Economic Forum 91-93 route de la Capite.