HUMANIORA – (14/8/2024) Interkulturalitas dan budaya lokal merupakan elemen kunci dalam menciptakan pembelajaran bahasa yang efektif dan relevan di era globalisasi saat ini. Dalam mengajarkan bahasa, tidak cukup hanya dengan mengajarkan keterampilan linguistik. Lebih dari itu, pembelajaran bahasa juga harus melibatkan pemahaman terhadap nilai-nilai budaya yang mendasarinya. Hal itu dijelaskan Dr. Galuh Nur Rohmah, M.Pd., M.Ed., dalam Program Teacher Virtual Academy (TVA) edisi ketiga, Kamis, 14 Agustus 2024.
Baca Juga:
- Teacher Virtual Academy Gelar Pertemuan Ketiga, Kupas Interkulturalitas dalam Pembelajaran Bahasa
- Humaniora Jalin Kerja Sama dengan Pusat Unggulan Iptek Javanologi UNS
Dengan mengusung topik "Interculturality Culture and Local Languages in Language Classroom" Wakil Dekan Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini membahas pentingnya mengintegrasikan budaya lokal dan interkulturalitas dalam pembelajaran bahasa.
"Pembelajaran bahasa yang berbasis pada interkulturalitas memungkinkan siswa tidak hanya belajar bahasa secara teknis, tetapi juga memahami konteks budaya dari bahasa tersebut," ujar Dr. Galuh dalam sesinya. Ia menjelaskan bahwa bahasa Inggris, sebagai bagian dari budaya global, harus dipertemukan dengan budaya lokal di dalam kelas untuk membangun semangat belajar interkultural. Hal ini menjadi tantangan bagi para pengajar untuk menemukan cara-cara inovatif agar nilai-nilai interkultural bisa masuk dalam pembelajaran bahasa Inggris.
Selanjutnya, Alumni S3 Monash University, Australia ini menekankan peran krusial pengajar bahasa sebagai agen perubahan yang tidak hanya mengajarkan keterampilan komunikasi, tetapi juga membangun kompetensi interkultural. Hal ini penting karena dalam komunikasi antarbudaya, pemahaman yang mendalam tentang perbedaan dan persamaan budaya sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya superioritas budaya, yang bisa menghambat komunikasi efektif.
“Dengan menanamkan kompetensi interkultural pada peserta didik, pengajar bahasa membantu siswa menjadi lebih sadar akan konteks budaya dalam penggunaan bahasa, sehingga mereka dapat berinteraksi secara lebih inklusif dan menghargai keberagaman budaya”, tegasnya.
Ia menambahkan, “Hal ini tidak hanya memperkaya pengalaman belajar bahasa tetapi juga mempersiapkan siswa untuk berperan aktif dalam masyarakat global yang multikultural”.
Lebih lanjut, Dr. Galuh memberikan contoh konkret, seperti saat menerima pujian dari orang lain dalam situasi komunikasi. “Ini merupakan bagian dari "complement" yang membutuhkan respons yang tepat, yang hanya bisa diperoleh melalui pemahaman antar budaya. Oleh karena itu, kelas bahasa Inggris harus mampu memunculkan kesadaran antar budaya dalam diri siswa”.
Di akhir materinya, Dr. Galuh mengingatkan bahwa tujuan utama dari pembelajaran bahasa Inggris tidak hanya terbatas pada peningkatan kompetensi linguistik. Ia menyoroti pentingnya pengembangan kompetensi sosiolinguistik, yang membantu siswa memahami konteks sosial penggunaan bahasa, serta kompetensi wacana, yang memungkinkan mereka mengorganisasi ide dan informasi secara efektif dalam komunikasi tertulis maupun lisan.
Selain itu, pembelajaran bahasa Inggris juga bertujuan untuk meningkatkan kompetensi sosiokultural, yang memperkaya pemahaman siswa tentang norma dan nilai budaya terkait bahasa, serta kompetensi pragmatik, yang melatih siswa menggunakan bahasa secara tepat dalam berbagai situasi komunikasi.
Menurut Dr. Galuh, pencapaian tujuan-tujuan ini tidak hanya membekali siswa dengan keterampilan berbahasa, tetapi juga kemampuan berinteraksi secara interkultural—suatu keterampilan vital dalam dunia global yang semakin terhubung.
“Dengan mencapai tujuan-tujuan ini, pembelajaran bahasa Inggris tidak hanya membekali siswa dengan keterampilan bahasa, tetapi juga dengan kemampuan berinteraksi secara interkultural, yang sangat penting dalam dunia global yang semakin terhubung”, pungkasnya.
Pertemuan TVA kali ini berhasil memperkaya wawasan para peserta mengenai pentingnya integrasi budaya dalam pembelajaran bahasa. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang interkulturalitas, para pengajar diharapkan dapat lebih siap dalam membentuk siswa yang memiliki kompetensi bahasa dan budaya yang seimbang, yang esensial dalam menghadapi tantangan komunikasi di era globalisasi. [al]