HUMANIORA - (20/10/2021) - Kehadiran Prof. George Quinn dalam International Scholar's Engagement secara virtual di Fakultas Humaniora menarik banyak perhatian para dosen dan mahasiswa, tidak hanya dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, tetapi juga dari berbagai kampus di Indonesia. Hal tersebut terekam dalam kehadiran mereka di zoom dan juga live youtube.
Dekan Fakultas Humaniora, Dr. Faisol, menyambut hangat kehadiran Prof George dengan bahasa Jawanya yang khas. Dalam sambutannya, Dekan Fakultas menyinggung tentang seorang muslim yang membaca sebuah teks agama (kitab suci atau lainnya) akan melahirkan ekspesi atau ritual yang melahirkan satu budaya yang tidak bisa ditolak. Menurutnya, dalam beragama tidak hanya cukup memahamai kitab suci, tetapi juga memahami budaya. Maka, seminar ini sangat penting untuk membawa seseorang pada wawasan yang semakin luas dalam memahami budaya, terutama ziarah.
Prof Georgia yang lahir di Selandia Baru ini banyak menyinggung tentang laku ziarah di tanah Jawa. Prof yang mahir berbahasa Jawa ini menyoal beberapa hal di antaranya; “Mengapa, budaya ziarah tidak menonjol dalam penelitian Islam di Jawa? Beberapa masalah umum terkait penelitian lapagan dalam bidang budaya ziarah” betolak dari pertanyaan ini, beliau mengupas tuntas realitas ziarah di bumi Jawa.
“Pada tahun 1981-an timbullah gejala tidak terduga-duga. Sejalan dengan meningkatnya praktik ibadah berbasis masjid, syariah dan kitab suci, maka meningkat pula praktik beribadah ke makam-makam keramat” menurut Prof George. Peneliti yang pintar berbahasa Jawa ini juga seringkali ditanya tentang hal ghaib, apalah Prof George pernah mengalami hal yang terasa ghaib ketika berkunjung ke makan keramat. Seperti bermimpi seolah-olah pengalaman nyata, mukjizat, penampakan ghaib, perasaan terhubung dengan kuasa ilahi, pertemuan dengan tokoh berkaromah yang memiliki kesaktian, kawaskitaan atau ilmu ghaib.
Prof yang tinggal di Australia ini menjawab, "Belum pernah, tetapi sudah beberapa kali saya mengalami peristiwa aneh yang tidak terlupakan, sehingga saya tertegun dan bertanya kepada diri sendiri bagaimana peristiwa itu dapat saya gambarkan secara objektif-ilmiah tanpa pengorbanan kejutan emosial yang saya rasakan".
Sambutan terhadap buku-buku dan gaya kepenulisan Prof George ini juga unik. “Kuncinya, dalam menulis laporan ilmiah yang bersifat emosional ada beberapa aturan ilmiah yang tidak harus ditaati (boleh dilanggar) bila terkait dengan ziarah atau yang lainnya, karena penelitian ini bersifat emosional. Misalnya gaya penulisan harus formal, penggunaan kata-kata secara lugu (tidak berkias, tidak berbunga-bunga, tidak berlambang-lambang), penulis tidak boleh menonjolkan diri, sorotan langsung dan semata-mata pada masalah yang diteliti (dilarang menyimpang dilarang bercerita-cerita, dilarang menyisipkan hiasan anekdot, dilarang berbelit-belit), harus ditopang degan catatan kaki dan acuan pustaka yang lengkap dan mudah diakses oleh pembaca”.
Beliau memberikan tips dalam menuliskan laporan ilmiah yang emosianal adalah “Bersifat emosional, menancap dalam di hati, hasil penelitian ilmiah harus mencerminkan emosi dan perasaan, kalau hanya bersifat ilmiah sesuai dengan ciri-ciri di atas tadi tidak menemukan hasilnya yang inti, akan kering dan gersang. Dan hasil penelitian dilaporkan secara komunikatif kepada kalangan luas, bukan semata-mata hanya ditujukan kepada peneliti atau sesama akademisi. Tugas peneliti tidak boleh membatasi hanya pada sesama akademisi, tetapi kepada sidang pembaca secara luas. Dan ini termasuk tugas peneliti”. Ungkapnya sebelum menutup sesi pemaparan pada International Scholar's Engagement (Rabu, 20/10/2021).
Di akhir diskusi, moderator acara ini, Abdurrahman, M.Hum, menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada pemateri, peserta dan seluruhnya yang berpartisipasi pada acara yang sukses besar ini. [HLM]