HUMANIORA – (23/4/2024) Fenomena isu gender dalam studi bahasa Arab menjadi fokus menarik yang terungkap melalui analisis terhadap teks-teks pembelajaran. Perbedaan identitas antara kata benda yang dikategorikan sebagai muzakkar (laki-laki) dan muannats (perempuan) menggambarkan dinamika dalam struktur sosial yang tercermin melalui bahasa Arab. Hal itu disampaikan Prof. Muassomah, M.Si., M.Pd. dalam pidato pengukuhan Guru Besar yang berlangsung Selasa (23/4) di Rektorat lantai 5 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Baca juga:

• Resmi Dikukuhkan, Prof. Muassomah Jadi Guru Besar Perempuan Pertama di Humaniora
• Alumni Humaniora Melangkah ke Tingkat Internasional, Bidik Studi Profesi di Kampus Luar Negeri

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Muassomah memaparkan pentingnya studi gender dalam bahasa Arab, khususnya dalam konstruksi kata benda. Ia menyoroti perbedaan identitas antara kata benda yang beridentitas muzakkar (laki-laki) dan muannats (perempuan), yang mencerminkan perbedaan dalam penataan ruang sosial.

"Pemahaman akan struktur bahasa Arab yang seksis merupakan cerminan praktik budaya patriarki dalam berbagai aspek kehidupan," ungkap Prof. Muassomah. Ia menambahkan, "Setiap unsur kata dan kata dalam bahasa Arab mengandung simbol-simbol yang membedakan antara muzakkar dan muannats dengan karakteristik tertentu, yang mencerminkan peran gender dalam masyarakat Arab."

Lebih lanjut, Wanita kelahiran Gresik tersebut menggambarkan bahwa penataan ruang social memiliki karakter yang berbeda antara ruang yang beridentitas muzakkar dan muannats. Simbol yang sama dalam sebuah struktur kata dengan jenis kelamin yang berbeda telah mencerminkan ruang yang beda, seperti kata “جامع” dan “جامعة”. Perbedaan identitas ini telah berimplikasi pada perbedaan fungsi dan karakteristik ruang sosial.

Perbedaan identitas ini telah memperlihatkan bahwa penataan ruang yang beridentitas mudzakkar telah memiliki karakteristik aksesibilitas lebih luas, kekuasaan, dan sebagai inti/pusat. Sementara ruang yang beridentitas muannats menggambarkan cabang, layanan kesehatan dan pendidikan. Dengan kata lain, seksisme bahasa Arab dalam penataan ruang telah berimplikasi pada aksesibilitas dan fungsi.

Masih dalam kesempatan yang sama, Wakil Dekan Bidang AUPK Fakultas Humaniora tersebut juga menekankan bahwa perbedaan identitas muzakkar dan muannats dalam bahasa Arab bukan semata-mata bersifat arbitrer, melainkan terkait erat dengan muatan politik, ideologi, dan budaya yang berkembang di masyarakat Arab.

Setiap unsur kata dan kata dalam bahasa Arab memiliki simbol-simbol yang membedakan antara muzakkar dan muannats dengan karakteristik tertentu, menunjukkan bahwa bahasa Arab tidak bebas dari dimensi gender. Struktur bahasa Arab yang seksis dianggap sebagai cerminan praktik budaya patriarki dalam berbagai ranah kehidupan, mulai dari individu, keluarga, hingga negara.

Penelitian Prof. Muassomah yang mengantarkannya sebagai Guru Besar bidang Ilmu Bahasa Arab tidak hanya merupakan pencapaian akademis, tetapi juga menambahkan warna baru dalam penelitian bahasa Arab yang menggali dimensi gender dan memperkuat pemahaman akan praktik budaya dalam masyarakat Arab. [al]