HUMANIORA – (28/6/2022) Selama ini, manusia dalam karya sastra menjadi poros dan sentra kajian. Manusia dipahami sebagai bagian penting dalam memahami struktur cerita sastra. Lalu apa jadinya jika manusia dalam karya sastra tidak dianggap sebagai poros utama?

Adalah Posthumanisme Sastra yang menggeser paradigma kajian sastra yang selama ini menjadikan manusia sebagai porosnya. Posthumanisme sastra muncul setelah adanya kajian-kajian sastra di era postmodernisme sastra yang berbicara tentang struktur-struktur (strukturalisme, strukturalisme murni, strukturalisme semiotic atau dinamik) dimana manusia menjadi pusat kajiannya.

Topik Posthumanisme Sastra ini diangkat sebagai tema utama dalam workshop yang diadakan oleh Laboratorium Kajian Bahasa dan Budaya (LKBB) Fakultas Humaniora pada Selasa, 28 Juni 2022 secara daring dengan menghadirkan Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum.

Menurut Suwardi, posthumanisme sastra hadir sebagai jalan untuk lari dari jeratan struktur. Selama ini postmodernisme terhadap kajian sastra telah mencengkram sastra pada aspek struktur yang mana manusia dijadikan sebagai poros kajian. Nah, posthumanisme sastra ingin melampaui postmodernisme.

Postahumanisme Sastra hendak memberikan kesadaran bahwa manusia tidak harus menjadi sentral dalam kajian sastra. Kajian sastra dipindahkan pada hal yang melewati kemanusiaan. Hal ini mengingat fiksi-fiksi dalam sastra adalah dunia “kemungkinan”, yang barangkali belum pernah kita bayangkan.

“Kita tidak lagi berbicara di bidang posmodernisme, tidak berbicara tentang struktur-struktur dimana manusia menjadi pusat kajiannya. Kita sedang di wilayah “bukan manusia”,” tegasnya.

Lebih dari itu, bagi Suwardi, Posthumanisme Sastra muncul sebagai tingkat lanjut dari kajian antropologi sastra. Di antropologi yang dibicarakan adalah manusia. Yang dikaji adalah humanisme; manusia seolah-oleh mendapat tempat yang istimewa. Manusia adalah makhluk yang paling hebat. Setelah humaniora ternyata masih ada hal-hal penting lainnya, misalnya hewan, tumbuhan dan lingkungan di luar diri manusia.

Seharusnya, hewan, tumbuhan dan lingkungan di luar diri manusia dalam konstruksi sebuah cerita itu bukan hal yang marjinal, tetapi ekual dan harus diletakkan setara dengan manusia. Manusia tidak perlu harus menjadi sentral, tetapi bisa saja hewan, tumbuhan, debu, dan seterusnya. Sentra kajian dalam karya sastra bukan saja manusia. Untuk memahami sastra tidak saja manusia sebagai objek kajiannya. Jangan-jangan manusia itu hanya bagian kecil saja dalam struktur karya sastra.

“Manusia yang dulu selalu dibicarakan paling hebat, ternyata dalam pascahumanisme terdapat pernak-pernik di sekitar kemanusiaan yang penting juga untuk dibahas. Dalam kultur pascahumanisme, tidak lagi dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling top dan segala-galanya (antroposentris)” tuturnya,” jelas Suwardi.

Terdapat tiga asumsi filosofis dalam Posthumanisme Sastra. Pertama, bahwa teori ini hadir sebagai pemaknaan sastra di atas kemampuan rata-rata manusia. Usaha untuk memahami makna karya sastra melebihi apa yang diinginkan pengarang atau melebihi rata-rata pemikiran manusia; di atas kemampuan manusia. Kedua, pemaknaan teks sastra yang mengkaji di luar antropo sentris. Ketiga, bahwa tidak saatnya lagi menganggap manusia sebagai poros dalam memahami karya sastra atau perannya mengeksploitasi yang lain. [li]